Lampuhijau.com - Pilkada Serentak gelombang ketiga akan berlangsung tahun 2018 mendatang. Beragam masalah masih muncul pada perhelatan Pilkada Serentak tahun 2015 lalu. Masalah pada Pemilihan Kepala Daerah yang serentak dilakukan di 370 daerah tersebut diantaranya kapasitas bakal calon (balon), popularitas dan elektabilitas balon, proses kandidasi di partai politik (parpol) hingga biaya politik yang tinggi.
Dari masalah yang muncul tersebut menyebabkan perilaku kepala daerah yang korup, terhambatnya perwujudan tata kelola pemerintahan, konsolidasi demokrasi yang lamban dan kualitas pemerintah daerah yang rendah. ”Pemilih juga cenderung masih memilih calon yang main politik uang. Ini harus dibenahi pada Pilkada serentak gelombang III 2018 nanti,” ungkap Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor di kantornya, Senin (27/11).
Menurut Firman, pada pilkada serentak 2018 nanti ada pertarungan yang cukup menarik perhatian. Yakni, pilkada di Provinsi Jawa barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini, disebabkan jumlah pemilih di tiga daerah tersebut tinggi. Dia menyebutkan, pilkada serentak 2018 nanti akan digelar 171 daerah. Pilkada akan dilaksanakan di 17 Provinsi, 38 kota dan 116 kabupaten di seluruh Indonesia. ”Tiga daerah ini wilayah utama yang sangat strategis dan merupakan lumbung suara. Tentu akan menjadi arena perebutan kekuatan-kekuatan politik,” ungkap Firman.
Firman menerangkan, belakangan perkembangan politik begitu dinamis. Tentu saja ini akan berpengaruh pada perkembangan demokrasi saat pelaksanaan pilkada nanti. Kendati, demokrasi memberikan peluang besar adanya kompetisi dan partisipasi. Pilkada kerap dijadikan perebutan kekuasaan semata.
”Yang perlu diperhatikan partai politik (parpol) bagaimana proses kandidasi, jangan tersentralisasi hanya di elit pusat (DPP Parpol, Red). Dan parpol cenderung bersikap pragmatis dalam menentukan calon. Ini yang sering menyebabkan parpol hanya mempertimbangkan aspek popularitas dan elektabilitas, tanpa memperhatikan kapasitas calon,” terang Firman.
Untuk mewujudkan demokrasi yang berkualitas, masih ujar Firman, pilkada harus dimaknai sebagai proses demokrasi yang menghadirkan calon kontestan yang berkualitas, tidak hanya sosok yang populer dan memiliki modal besar. Calon yang tidak lulus integritas, menurut Firman tidak layak untuk dipromosikan. ”Pelaksanaan Pilkada 2018 yang lebih baik dari pilkada sebelumnya akan menciptakan konsolidasi demokrasi di daerah menjadi lebih baik,” katanya.
Di tempat yang sama, peneliti politik LIPI Siti Zuhro menegaskan, besarnya penggunaan uang dalam pilkada dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif. Pilkada bukannya menciptakan tata keola pemerintahan yang baik, melainkan cenderung menghasilkan pemerintahan yang buruk. Hal ini, terlihat banyaknya pimpinan daerah yang terjerat kasus hukum. ”Harus ada tata ulang sistem pilkada di Indonesia. Selain mengurangi biaya politik juga mengurangi dampak sosialnya,” katanya.
Menurut Siti, keberhasilan pemerintah daerah yang baik dikembalikan pada niat calon kandidat dalam pilkada. Apakah dedikasinya hanya untuk rakyat, untuk memperkaya diri atau membangun dinasti kekuasaan.
Dia mengingatkan, para elit dan partai politik secara bersama-sama menciptakan prakondisi. Hal ini untuk membangun nilai-nilai budaya, praktek pilkada yang berkualitas, transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. ”Parpol jangan mengusung calon yang tidak berkualitas, apalagi calon yang kutu loncat,” tegas Siti.
Selain itu, dikatakan Siti, KPU, Bawaslu dan penegak hukum tidak partisan. Karena masyarakat kini cerdas memilih. Dan, tidak ada lagi mobilisasi massa dengan uang. Karena, menurut Siti itu merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). ”Itu secara tidak langsung ada jual beli suara,” ungkap Siti.
Sementara itu, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar mengatakan, kualitas pemilu demokratis di zaman now harus menjunjung integritas yang tinggi, profesional dan independen serta transparan. Dalam konteks pemilu, menurut Deddy sudah ada acuan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. ”Perlu tolok ukur sosial untuk mempromosikan budaya politik adiluhung dari level elit politik nasional hingga daerah,” ujarnya.
Deddy menambahkan, tolok ukur sosial juga mengajarkan masyarakat makin dewasa dalam perbedaan politik dalam demokrasi dan menghilangkan budaya politik transaksional.
Pilkada Serentak 2018
Digelar di:
• 17 Provinsi
• 38 Kota
• 116 Kabupaten
Diikuti:
171 calon kepala daerah