Untuk bisa menjadi desainer kelas dunia, tak mudah jika dilakukan oleh para desainer Indonesia. Pasalnya mereka disebut masih memiliki sederet pekerjaan rumah. Salah satunya adalah membuat koleksi busana yang menyesuaikan musim. Hal tersebut disampaikan Ketua Indonesian Fashion Chamber (IFC) desainer, Ali Charisma.
"Kebanyakan di kita PR-nya belum ngerti musim di luar. Winter itu pakaiannya seperti apa. Kalau pakai batik atau bahan lainnya yang dikirim ke luar negeri warna dan treatment-nya harus seperti apa," jelas Ali.
Namun, menurutnya, hal itu merupakan peluang terbesar dan sangat memungkinkan bagi para desainer Indonesia untuk membuat koleksi pakaian yang menyesuaikan musim di luar negeri. Terkait model, tidak ada patokan harus mengikuti model-model yang ada.
Tak hanya soal musim, Ali berharap para desainer Indonesia bisa lebih memahami budaya tujuan pasarnya tanpa menghilangkan ciri khas dari Indonesia sendiri. Bahkan, kebudayaan dua negara menurutnya bisa dipadukan, tentunya dengan izin masing-masing dari pihak negara. Sehingga desainer tak perlu membuat dua produk berbeda. Misalnya saja untuk pasar di negara Skandinavia. Ali menuturkan, orang-orang di negara-negara Skandinavia tidak menyukai pakaian berwarna-warni, mereka cenderung memakai warna dasar.
"Mau enggak mau kalau mau masuk Skandinavia kita ikuti warna-warna mereka. Berarti warna-warna batik kita misalnya, harus yang lusuh-lusuh. Itu lebih jelas, jadi saat ke sana produk kita laku benar," sambungnya.
Sebagai penutup, Ali memberikan tantangan terbesar kepada desainer Indonesia, mengenai cara agar produk fashion Indonesia bisa diterima di dalam maupun luar negeri.