Pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu menilai budaya main hakim sendiri membuat seorang pelaku kecelakaan takut untuk langsung bertanggung jawab menolong korbannya. Ia lebih memilih untuk kabur menyelamatkan diri dari amukan massa.
"Sering ditemui adanya orang yang main hakim sendiri ini menjadi sebuah fenomena yang dihadapi masyarakat Indonesia. Akibatnya ketika terjadi kecelakaan, pihak yang menabrak cenderung mencoba keluar dari lokasi kecelakaan dengan sesegera mungkin," tutur Jusri.
Jusri sendiri menyadari di Indonesia, pengemudi yang menjadi pihak yang menabrak dihantui budaya main hakim sendiri. Tindakan yang mereka lakukan tidak ada salahnya juga. Pasalnya, ketakutan akan terjadinya main hakim sendiri dinilai bisa dimaklumi. Namun, bukan berarti jadi pembenaran bahwa pengemudi yang menabrak bisa kabur melarikan diri. Polisi tetap akan menangkap pelaku kecelakaan.
Bila menghadapi situasi tersebut, Jusri menyarankan pengemudi untuk keluar dari lokasi kecelakaan. Namun segera mencari pos polisi, rumah sakit terdekat, atau tempat lainnya yang dinilai aman. Tujuannya melaporkan terjadinya kecelakaan sekaligus menegaskan bahwa pengemudi tersebut bertanggung jawab.
"Jangan panik. Lihat situasinya aman atau tidak. Kalau tidak aman dan ada korban, segera bergerak ke tempat aman sambil menelpon polisi atau ambulans. Nomor-nomor darurat harus diketahui untuk menceritakan kejadian tersebut," jelas Jusri.
Dilansir dari Wikipedia, main hakim sendiri adalah istilah bagi tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses yang sesuai hukum. Contoh dari tindakan main hakim sendiri adalah pemukulan terhadap pelaku kejahatan oleh masyarakat.
Kebiasaan main hakim sendiri tersebut sangat sulit dilepaskan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Mereka selalu beranggapan, yang salah harus dihakimi secara langsung. Namun, bukan seperti itu caranya. Polisi lah yang memiliki wewenang penuh untuk menentukan sanksi bagi pelaku yang menjadi pihak yang menabrak.