Lampuhijau.com – Intonasi Hery Susanto Gun alias Abun meninggi ketika majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Samarinda memintanya berkonsultasi dengan penasihat hukum atas tuntutan yang dibacakan jaksa. “Buktikan saja, tuangkan semua dalam pembelaan nanti,” ucapnya. “Uraikan semua ketimpangan selama persidangan ini,” sambungnya kembali duduk di kursi terdakwa.
Kemarin (29/11) ketua Pemuda Demokrat Indonesia Bersatu (PDIB) bersama Noor Asriansyah alias Elly akhirnya mendengarkan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU). Setelah sempat empat kali persidangan tertunda untuk perampungan berkas tuntutan.
Tiga JPU membacakan bergantian berkas tuntutan untuk kedua terdakwa kasus dugaan pemerasan dan pencucian uang di Koperasi Serba Usaha (KSU) PDIB di Terminal Peti Kemas (TPK) Palaran, Samarinda. Tiga JPU itu adalah Kamin, Reza Pahlevi, dan Agus Supriyanto.
Padatnya agenda persidangan di PN Samarinda, kemarin, membuat sidang baru digelar di Ruang Kusumah Atmadjah pukul 19.00 Wita. Dalam tuntutan, JPU menilai, Abun terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal kumulatif yang didakwakan JPU pada 16 Agustus lalu. Yakni, Pasal 368 Ayat 1 KUHP tentang Pemerasan juncto Pasal 3 UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
“Penuntut umum menilai, seluruh unsur telah terpenuhi dan menuntut terdakwa Hery Susanto Gun selama 10 tahun pidana penjara,” ucap jaksa Kamin membacakan berkas tuntutan setebal 28 lembar itu.
Anasir yang menjadi pertimbangan jaksa menuntut keduanya ialah adanya unsur pemerasan terhadap para sopir yang lewat TPK Palaran. Jika mereka tak membayar, satu-satunya akses menuju terminal itu akan diportal pihak KSU PDIB.
Untuk Noor Asriansyah, manajer unit Pelabuhan Palaran KSU PDIB itu dituntut selama 6 tahun pidana penjara lewat Pasal 368 Ayat 1 KUHP tentang Pemerasan yang notabene pasal tunggal yang didakwakan JPU.
Dalam pertimbangan jaksa, pemerasan hingga pencucian uang dalam retribusi parkir liar di TPK Palaran telah terbukti dari fakta-fakta persidangan. Salah satunya keterangan 24 saksi yang telah dihadirkan para beskal sepanjang perkara ini bergulir di peradilan tingkat I di Jalan M Yamin itu.
“Anasir pemerasan jelas terbukti karena kontainer yang melalui lahan tersebut ditarik iuran sejak 2012 lalu. Hingga sopir truk pengangkut peti kemas yang ingin bongkar-muat mengeluh,” lanjut jaksa Kamin membaca tuntutan di depan majelis hakim yang dipimpin AF Joko Sutrisno bersama Burhanuddin dan Hendry Dunant itu.
Sejak 2012, sopir truk peti kemas menuju TPK Palaran harus membayar retribusi parkir yang besarannya mengalami kenaikan beberapa kali. Dari Rp 6 ribu pada 2012, lalu naik menjadi Rp 10 ribu dua tahun berselang, dan akhirnya menjadi Rp 20 ribu medio Februari 2016.
Keuntungan per bulan pungutan yang dilakukan KSU PDIB itu dengan menutup portal menuju terminal di kawasan Bukuan, Palaran, tersebut berkisar Rp 200–250 juta. Perolehan itu 40 persen untuk operasional koperasi sementara sisanya diteruskan Elly ke Abun sebagai modal usaha. Jadi, pasal pencucian uang yang menjerat Abun terbukti. Setidaknya, kata jaksa Reza, melanjutkan membaca tuntutan, Abun menikmati uang Rp 1,2 miliar dari pungutan tersebut.
Selepas tuntutan untuk dua terdakwa itu dibacakan, majelis hakim akan kembali menggelar sidang pada 5 Desember mendatang dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledoi.
Keluar ruang sidang Kusumah Atmadja, Abun maupun Elly tak banyak berkomentar dan bergegas diantar sipir dan beberapa polisi berseragam lengkap kembali ke Rumah Tahanan Klas IIA Sempaja. Sementara para jaksa yang coba dikonfirmasi awak media ini justru irit bicara. “Satu pintu saja, lewat humas Kejari,” ucap ketiga jaksa singkat.
KRITIK JAKSA
Tuntutan untuk Abun dan Elly sudah dibacakan dengan diwarnai empat kali penundaan. Para penasihat hukum kedua terdakwa dugaan pemerasan dan pencucian uang itu pun mengkritik sikap jaksa yang terkesan menghambat persidangan. “Sudah tunda, isinya hanya mengacu BAP (berkas acara pemeriksaan). Tanpa didasari fakta yang terungkap di persidangan,” keluh Deni Ngari, kuasa hukum Abun.
Padahal, sebut dia, banyak fakta yang terungkap di persidangan yang tak dituangkan jaksa dalam berkas tuntutan tersebut. Semisal, keterangan beberapa sopir yang menjadi saksi dalam sidang.
Keterangan sopir itu menyebutkan tak pernah ada kekerasan dalam penarikan itu. “Dalam tuntutan kekerasan yang dinilai jaksa berbentuk kekerasan psikis. Tapi, nyatanya, mereka sukarela semua membayar retribusi parkir karena masuk ke terminal tak bisa sekaligus. Harus mengantre,” jelasnya.
Mepetnya batas persidangan yang ditarget majelis hakim bisa rampung sebelum akhir tahun. Membuat mereka tak bisa memaksimalkan menuangkan pembelaan. “Tak sampai sepekan kami harus ajukan pembelaan. Sementara jaksa menunda hingga empat kali hanya untuk bacakan tuntutan,” beber Deni.
Adapun kuasa hukum Elly, Roy Hendrayanto menilai penuntut umum salah kaprah menilai kekerasan psikis yang dianggap jaksa menjadi dasar pemerasan di TPK Palaran. Mestinya, kata dia, jaksa bisa membuktikan adanya kekerasan psikis lewat pembuktian psikologi. “Bukan sekadar ucapan di persidangan dan salin rekat BAP,” tegasnya.
Dua ahli yang diperiksa dalam BAP, yakni Arifin perwakilan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan ahli pidana asal Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur Bambang Hariyadi tak dapat dihadirkan ke persidangan. “Hanya dibacakan,” lanjutnya.
Sementara pihak Abun dan Elly, mampu menghadirkan ahli meringankan. Ahli itu, Marcus Priyo Gunarto, ahli pidana dari Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Di depan majelis hakim saat Marcus bersaksi pada 26 Oktober 2017.
Dia menuturkan, pemahaman akan pemerasan dalam perkara perlu dipahami seksama. “Dalam Pasal 368 Ayat 1 KUHP itu jelas berbunyi adanya upaya paksa atau ancaman untuk menguasai barang dan harta benda milik orang lain. Nah, ini yang harus dibuktikan upaya paksa dan ancaman itu seperti apa. Memortal karena tak membayar retribusi belum bisa dijelaskan sebagai ancaman,” jelas Marcus kala itu.