Tahap pendaftaran peserta dan pelengkapan dokumen bagi partai politik Pemilihan Umum 2019 telah ditutup Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Keputusannya, terdapat 14 partai politik yang lolos seleksi dengan empat partai peserta baru, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Berkarya, dan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda). Keempat partai baru itu seperti bersepakat untuk menetapkan ideologi Pancasila sebagai platform partai.
Dari keputusan partai-partai baru tersebut ditambah Partai Bulan Bintang ( PBB) yang gagal memenuhi syarat pendaftaran peserta Pemilu 2019, dapat terlihat semakin tegasnya tren kemunduran partai berazaskan Islam pasca tumbangnya Orde Baru.
Jika mau menengok ke belakang ramalan kegagalan partai berbasis agama sebetulnya sudah disuarakan oleh almarhum Nurcholis Majid pada dekade 1960-1970 yang terkenal dengan sikap politik "Islam Yes, Partai Islam No".
Cak Nur saat itu meyakini bahwa mayoritas masyarakat Islam Indonesia secara individu taat beragama namun tidak merefleksikan hal tersebut sebagai sudut pandang kepartaian. Saat itu pendapatnya ditentang banyak pihak, namun waktu yang membuktikannya.
Belum lagi publik disuguhi keras dan berlarutnya pertarungan internal partai-partai Islam sebagai contoh konflik di Partai Kedaulatan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), maupun kasus moral dan korupsi yang melibatkan kader partai-partai berbasis Islam.
Dinamika partai yang berimbas pada penciutan pendukung (decreasing-party), sudah bukan rahasia jika partai Islam tidak cukup memiliki sumber daya untuk menggaet anggota baru. Bersamaan semakin berkurangnya kekuatan internal partai untuk memobilisasi pendukung.
Kondisi tersebut sedikit banyak berperan memperkecil simpati pemilih partai berbasis Islam yang dengan mudah dilihat pada perolehan suara partai-partai Islam, termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) yang secara AD/ART sebetulnya tidak berbasis Islam, selama satu dekade terakhir ini.
Fenomena kemunduran partai-partai Islam di Indonesia, tidak berbeda jauh dengan fenomena yang telah dialami partai-partai berbasis Kristen di Eropa Barat. Faktor yang juga tidak bisa dikesampingkan adalah aktifnya partai-partai nasionalis, terlepas dari motif bersifat substantif ataupun simbolik, untuk menggarap kantong-kantong Islam. Mereka mengakomodasi kepentingan dan bila perlu memperjuangkan agenda kelompok Islam.
Meski demikian, meningkatnya kuantitas partai-partai berideologi Pancasila atau secara sederhana kita sebut sebagai partai nasionalis pun tidak menjamin kematangan ideologi yang diusung. Sejauh ini, tak banyak partai-partai nasionalis yang bertarung mampu menjabarkan ideologi Pancasila mereka secara gamblang.
Lebih sering adanya pertarungan yang terjadi di antara partai nasionalis adalah memperebutkan suara ‘wong cilik’ atau menjalankan politik patronase dengan mengeksploitasi citra atau figur. Hal itu dinilai bukan program yang nyata dan terukur sebagai pengejawantahan ideologi partai.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini
Dapatkan strategi SEO terbaik untuk meningkatkan trafik organik serta solusi periklanan yang tepat sasaran.