Kuasa hukum terdakwa kasus korupsi proyek e-KTP Setya Novanto, Firman Wijaya mengibaratkan polemik korupsi proyek e-KTP seperti pencarian kotak hitam pesawat.
Firman mengungkapkan, dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 2,3 triliun itu banyak melibatkan pihak baik di tingkat eksekutif ataupun legislatif. Pihak-pihak tersebut menurut Firman sesuai dengan catatan buku hitam yang kerap dibawa Setya Novanto saat persidangan.
"Saya rasa buku yang digunakan itu saya menyebutnya kalau pesawat itu jatuh itu pasti black box harus dicari. Beliau mengambil buku yang berwarna hitam. Ya saya tidak tahu kenapa pilihannya itu, tetapi di dalam kamus hukum ada yang namanya black's law dictionary bisa saja ini kamus, yang beliau ingin sebutkan di kasus e-KTP," tutur Firman di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (5/2/2018).
Sementara itu, penasihat hukum Setya Novanto, Maqdir Ismail, mengungkapkan bahwa buku hitam yang mirip buku agenda tahun terbaru itu berisi catatan perjalanan sidang Setya Novanto. Sayangnya tidak ditelusuri lebih lanjut, apakah catatan perjalanan sidang itu hanya berisi catatan saat sidang berlangsung atau ada analisis benang merah dari kasus korupsi besar KTP Elektronik yang menjerat Setya.
Satu isyarat yang diupayakan Setya Novanto adalah justice collaborator (JC) alias pembongkar kasus dari pelaku tindak pidana itu sendiri. Tiga hal berikutnya yang tampaknya juga diupayakan Novanto adalah mengakui perbuatannya, bukan pelaku utama, dan selalu siap memberikan keterangan dan informasi di persidangan.
Justice collaborator dalam hukum di Indonesia diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborators) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (“SEMA 4/2011”). Penyusunannya terinspirasi dari Pasal 37 Konvensi PBB Anti Korupsi. Pasal itu memberi keistimewaan berupa keringanan hukum bagi mereka yang memiliki semangat membongkar kasus korupsi.