Setiap warga negara wajib sadar politik meskipun tak menjadi kader atau pengurus partai. Sadar politik diwujudkan dengan bersuara terhadap berbagai kebijakan penyelenggara negara dan lembaga politik yang ada seperti parpol dan pada akhirnya minimal berpartisipasi dalam pemilihan dengan memberikan pilihannya.
Politik adalah kebijakan pengelolaan negara sebagai rumah besar bagi bangsa yang didiami bersama. Sumber daya yang ada dinikmati bersama dan kewajiban yang ada dipikul persama. Sadar politik akan menentukan bagaimana negara akan dikelola, baik pengelolaan sumber daya, pungutan, pembangunan, hukum dan hubungan sosial.
Politik janganlah hanya dipandang sebagai kendaraan meraih kekuasaan, tapi sebagai mekanisme memajukan bangsa dengan berpartisipasi baik sebagai warga yg bersuara dan beraspirasi, konstituen yang memberikan pilihannya, kader yang mempertahankan platform partai dan pengurus yang mengelola berbagai aspirasi dan kepentingan partai dan anggota.
Lembaga politik seperti ormas dan berbagai underbownya harus mengelola berbagai suara aspirasi rakyat, konstituen, dan para kadernya. Ini adalah masalah pelik yang harus dicari jalan kompromi yang optimal karena setiap orang akan punya aspirasi yang berbeda.
Berikut adalah berbagai masalah dengan sistem politik di Indonesia yang membuat kualitas sistem politik Indonesia bernilai rendah dan hanya jadi kendaraan meraih kekuasaan.
Koalisi Partai adalah Koalisi Kepentingan (pragmatis) dan Bukan Koalisi Platform
Jika melihat pemilu di Indonesia baik pilkada dan pilpres maka koalisi dibentuk biasanya setelah pemilu dan kemudian koalisi yang dibentuk bukanlah koalisi program dan platform tapi adalah koalisi kepentingan untuk memenangkan pilkada atau pilpres.
Mana mungkin partai yang punya program memajukan pendidikan agama akan berkoalisi dengan partai yang ingin menghapus pendidikan agama ? Bagaimana mungkin partai yang ingin menghapus kolom agama dari KTP berkoalisi dengan partai ingin mempertahankannya ? Koalisi artinya partai akan bergabung dalam satu group, jika demikian program mana yang akan diikuti jika programnya saling bertentangan ?
Semasa kampanye partai-partai telah mengumumkan janji kampanye dan program partainya. Bagaimana janji ini akan diwujudkan jika partai itu bergabung dengan partai yang mempunyai janji yang berbeda ?
Koalisi partai semacam ini adalah mirip membeli tiket kereta tanpa tujuan. Penumpang disuruh hanya membeli tiket dan kemana kereta akan pergi bukan penumpang yang menentukan. Koalisi ini juga semacam memberikan cek kosong kepada partai dan dengan cek ini mereka bisa membeli apa saja sesuai keinginan pengurus partai tanpa lagi memperdulikan keinginan pihak yang memberikan aspirasi.
Koalisi yang benar adalah koalisi program dan platform dan seharusnya dilakukan sebelum pemilu berlangsung sehingga bisa berembuk menentukan program yang sama. Jika ada partai yang inginkan anggaran pendidikan 20% maka dia bisa bergabung dengan partai yg inginkan anggaran pendidikan 25% karena programnya masih sejalan.
Jika partai tak bisa menemukan rekan partai lain yang berplatform atau berprogram yang kompatibel maka partai bisa tetap sendirian. Paska pemilu usai partai ini masih bisa tetap tegakkan kepala di depan konstituennya bahwa karena mempertahankan amanah dari konstituen maka dia menolah berkoalisi dengan partai lain karena itu berarti akan mengorbankan janji kampanye yang telah dibuatnya.
Sebaliknya partai yang berkoalisi kepentingan hanya untuk memenangkan pilkada, bagaimana dia akan menjawab tuntutan pemenuhan janji kampanyenya jika partai itu sendiri sudah bergabung dengan partai lain dengan aspirasi berbeda ?
Jika kondisi ini terus berlangsung maka lebih baik masa kampanye dihapus, karena hanya akan jadi ajang tebar janji palsu dan penipuan. Tak perlu lagi ada program partai dan platform partai karena toh sama saja, program dan platform hanya jadi kalimat-kalimat tanpa makna karena bisa berubah dan bisa tak dipenuhi.
Kader Partai dan Bakal Calon
Setiap pemilu berlangsung banyak parpol mengusung calon yang sama sekali bukan kadernya. Kalau calon yang diusung bukan kadernya tapi kader dari parpol koalisi itu masih bisa dimengerti. Tapi kalau yang diusung adalah figur yang baru seminggu menjadi anggota partai maka ini akan menjadi preseden buruk bagi partai.
Hal ini bukan hanya perlangsung di pilkada dan pilpres tapi juga di pileg. Partai cenderung memasukkan tokoh popular yang punya kemungkinan terpilih besar dalam daftar urutan calegnya.
Partai politik seharusnya bukan hanya jadi panitia sibuk di sekitar pemilu. Partai harus menyelenggarakan program kaderisasi dan jenjang dari anggota sampai menjadi ketua partai. Ketika tiba saat pemilu maka kader yang diusung haruslah dari kader yang sudah menjadi anggota partai cukup lama dan sudah mengikuti berbagai jenjang pendidikan dalam partai. Dengan mengusung kadernya sendiri maka partai akan mendapatkan jaminan lebih baik bahwa kader ini akan memperjuangkan program dan platform partai.
Dengan mengusung kader maka akuntabilitas partai akan lebih baik dimana konstituennya. Memilih partai berarti aspirasi akan diperjuangkan oleh kader yang sudah sangat paham dengan program dan platform partai.
Sebaiknya kader mensyaratkan bahwa semua calon legislative dan bakan calon harus sudah menjadi anggota partai minimal sepuluh tahun. Jika dari kalangan PNS dan ada aturan bahwa PNS tak boleh menjadi anggota partai maka minimal sudah menjadi anggota partai selama 5 tahun.
Suara Anggota Dewan di DPR
Anggota partai yang sudah menjadi anggota dewan maka dia seharusnya mewakili konstituennya disamping juga mewakili partainya.
Yang terjadi sekarang ini adalah anggota dewan tersebut hanya jadi bebek mengikuti keinginan ketua partainya. Anggota dewan tidak bisa bersuara independen menjalankan janji kampanye atau bersikap sesuai platform tapi mengikuti pesan dari ketua partai yang diwakili oleh ketua fraksinya. Para anggota dewan tersebut lebih mirip menjadi robot tanpa otak tapi diperlukan eksistensinya sebagai daya tawar karena punya suara yang menentukan tentang suatu keputusan.
Hal ini sangat disayangkan karena jika demikian maka dewan lebih baik diwakili oleh utusan partai dan setiap partai punya porsi suara di dewan meski hanya diwakili satu orang. Anggota dewan dibayar sangat mahal dengan berbagai fasilitas kelas satu dan hanya jadi robot yang meneruskan keinginan dari ketua partainya.
Seharusnya anggota dewan tersebut harus memperjuangkan platform partai dan program partai. Semua produk-produk legislasi berupa Undang-undang harus diperjuangkan agar sejalan dengan progam dan platform partainya.
Semua keputusan anggota partai dalam berbagai pengambilan suara harus dicatat dengan baik dan dicantumkan di CV anggota dewan tentang berbagai sikapnya dalam pengambilan keputusan.
Untuk masalah-masalah lain yang diluar program dan platform partai maka anggota dewan harus memperjuangkan suara konstituennya baik dengan cara mencari dan mendapatkan feedback dari konstituen atau mencoba menangkap aspirasi lewat berbagai kanal yang ada.
Pergantian Antar Waktu
Pergantian antar waktu adalah hantu dan momok besar bagi setiap anggota dewan yang menyandera hati, tangan dan kaki para anggota dewan.
Anggota dewan yang mewakili suatu partai, bisa dipecat keanggotan partainya oleh ketua partai lewat mekanisme internal partai. Setelah tak menjadi anggota partai maka partai berhak mengajukan pergantian anggota parlemen yang diwakili oleh anggota dewan yang sudah dipecat.
Sistem seperti ini membuat anggota dewan tak punya independensi dalam bersikap dan hanya punya pilihan mempertahankan posisi sebagai anggota dewan dengan mengikuti kehendak partai atau menentang kebijakan ketua partai dengan resiko keluar sebagai anggota dewan.
Mekanisme ini sebenarnya positif jika digunakan untuk mengawasi anggota partai yang jadi anggota dewan untuk memastikan mereka selalu memperjuangkan platform partai beserta programnya. Sayang sekali mekanisme yang sama digunakan untuk mencopot anggota dewan yang setia dengan platform partai menghadapi mayoritas pengurus yang sudah mengkhianati partai.
Seharusnya hal ini menjadi mekanisme internal partai untuk memastikan bahwa proses pergantian antara waktu hanya dilakukan terhadap anggota partai yang menjadi pengkhianat program dan platform partai.
Publikasi Sikap dan Suara
Negara seharusnya memfasilitasi penerbitan riwayat kiprah setiap anggota partai di dewan dan memerinci detail sikapnya terhadap berbagai pengambilan keputusan dan legislasi.
Dengan riwayat kiprah ini maka masyarakat bisa tahu apa sikap anggota dewan tersebut dalam PP Ormas, apa keputusannya dalam UU Pendidikan, apa sikapnya dalam Pansus KPK dan lain-lain.
Hal ini penting agar supaya masyarakat bisa dapatkan informasi yang lengkap dan agar bisa mengambil sikap apakah tetap akan memilih anggota dewan tersebut atau memilih calon lain yang mempunyai riwayat kiprah yang lebih baik.