LampuHijau – Kekhawatiran Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terbukti. Robert Mueller yang ditunjuk jaksa agung sebagai jaksa khusus untuk menyelidiki dugaan intervensi Rusia dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2016 memang berbahaya. Setidaknya, bagi pemerintahannya. Kemarin (30/10), mantan direktur FBI itu menunjukkan keberaniannya dengan mengeluarkan dakwaan terhadap dua orang dekat Trump.
Berbekal lampu hijau grand jury federal Negara Bagian Washington pada Jumat (27/10), Mueller menjatuhkan dakwaan kepada Paul Manafort dan Rick Gates. Publik baru mengetahui nama dua terdakwa itu setelah mereka menyerahkan diri ke kantor FBI kemarin pagi waktu setempat. Sebelumnya, publik hanya bisa menduga-duga siapa yang dikenai dakwaan. Sebab, sejak menjabat pada 17 Mei, Mueller memeriksa sedikitnya empat orang penting.
”Ada 12 dakwaan yang kami kenakan pada kedua terdakwa. Di antaranya, persekongkolan melawan pemerintah AS, persekongkolan untuk mencuci uang, menjadi agen bagi pemerintah asing, memberikan pernyataan salah dan berbelit tentang Foreign Agents Registration Act (FARA), serta tujuh pelanggaran lain yang berkaitan dengan bank dan lembaga keuangan.” Demikian pernyataan resmi kantor Mueller.
Manafort dan Gates tiba di kantor FBI hampir bersamaan. Manafort yang terakhir menjabat ketua tim sukses Trump dalam pilpres lalu tiba lebih dulu. Pukul 08.15 waktu setempat, tokoh 68 tahun tersebut tiba di kantor FBI di Washington. Sekitar 45 menit kemudian, pada pukul 09.00 waktu setempat, Gates menyusul. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka berdua.
Manafort dan Gates yang memilih untuk menyerahkan diri setelah menerima surat dakwaan tertanggal 30 Oktober itu diduga kuat melakukan pencucian uang. Mereka menyembunyikan uang jutaan USD di sejumlah rekening bank di Pulau Siprus, St. Vincent dan Grenadines, serta Seychelles. Total, ada lebih dari USD 75 juta (sekitar Rp 1 triliun) yang disimpan di berbagai rekening bank asing.
Dalam dakwaannya, Mueller menyebut Manafort telah mencucikan uang USD 18 juta atau setara dengan Rp 244, 4 miliar. Harta sebanyak itu, kabarnya, diperoleh Manafort saat menjadi penasihat pro-Rusia di Ukraina pada 2004–2010. Tapi, selain menjadi pelobi bagi Ukraina, dia pernah menjadi penasihat bagi mantan diktator Filipina Ferdinand Marcos.
Satu dekade lalu, Manafort juga pernah mewakili seorang miliarder Rusia yang punya hubungan baik dengan Presiden Vladimir Putin. Saat itu, tujuan Manafort adalah mengambil hati Putin. Tujuannya tercapai. Kremlin pun langsung mengenalnya sebagai pelobi hebat. Dia kemudian banyak berhubungan dengan para pejabat Rusia sampai akhirnya dipecat dari tim sukses Trump menjelang pilpres 2016.
Juli lalu, FBI menggeledah rumah Manafort di Negara Bagian Virginia. Hal itu dilakukan untuk mencari bukti persekongkolannya dengan Rusia. Tidak jelas apakah dakwaan yang kemarin dikenakan kepada Manafort berkaitan dengan razia beberapa waktu lalu atau tidak. Tapi, seorang sumber pengadilan menyatakan bahwa pemeriksaan kali ini tak ada kaitannya dengan pilpres AS.
Sama halnya dengan Manafort, Gates pun menghadapi 12 dakwaan. Pria yang pernah bergabung dalam tim sukses Trump itu adalah seorang pebisnis sukses. Dia banyak bekerja bersama Manafort dan diyakini mengikuti ilmunya untuk memperkaya diri. Kemarin, pria 45 tahun itu tampil untuk kali pertama di persidangan. Dia membantah semua tuduhan.
Terkait penyerahan diri Manafort dan Gates, Gedung Putih bungkam. Trump juga tidak berkomentar setelah sejak Senin pagi (30/10) tak henti menyalahkan Hillary. ”Lakukan sesuatu!” tulis presiden ke-45 AS itu dalam satu di antara lima cuitannya yang diunggah pada Minggu pagi (29/10).
Dia lantas kembali menyalahkan Hillary Clinton dan Partai Demokrat sebagai dalang kisah fiktif tentang intervensi Rusia dalam pilpres AS. ”Mereka berusaha keras mengungkap kebenaran di balik rumor tidak benar tentang kolusi AS dan Rusia dalam pilpres. Dalam situasi seperti ini, Demokrat lah yang diuntungkan secara politik. Tapi, R (Republik) tidak akan tinggal diam,” ungkap ayah Ivanka tersebut.
Bersamaan dengan munculnya laporan penting dari Robert Mueller tentang investigasi kasus keterlibatan Rusia dalam Pilpres AS 2016, popularitas Trump merosot. Dalam jajak pendapat terbaru NBC News/Wall Street Journal, tercatat bahwa kinerja taipan 71 tahun itu tidak membuat puas publik AS. Hanya sekitar 38 persen responden yang menganggap kinerja Trump oke.
”Ini performa terburuknya sejak kali pertama menjabat,” kata Fred Yang, periset Hart Research Associates, tentang Trump. Jika dibandingkan dengan jajak pendapat yang sama pada September, kinerja suami Melania itu turun 5 persen. Pada Mei, Trump pernah mendapatkan nilai yang hampir sama buruknya dengan sekarang. Yakni, pada kisaran 59 persen atau 1 persen lebih tinggi daripada polling terbaru.
Kemarin (30/10), Associated Press melaporkan, ada tiga kelompok masyarakat yang memberikan kontribusi signifikan terhadap nilai buruk Trump kali ini. Tiga kelompok itu terdiri atas kelompok independen, masyarakat kulit putih, dan masyarakat kulit putih yang tak mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Dukungan dari kelompok independen turun dari angka 41 persen ke 34 persen.
Sementara itu, dibanding September, dukungan dari masyarakat kulit putih turun dari angka 51 persen ke angka 47 persen. Dukungan dari masyarakat kulit putih yang pendidikannya tidak tinggi juga turun. Yakni, dari angka 58 persen ke angka 51 persen. Namun, dukungan dari golongan kategori ketiga untuk presiden ke-45 Negeri Paman Sam itu tetap lebih besar ketimbang dua lainnya.
Dalam surveinya, Yang adalah seorang simpatisan Partai Demokrat yang bekerja sama dengan Bill McInturff dan timnya Public Opinion Strategies. Berbeda dengan Yang, McInturff adalah seorang pendukung Partai Republik. Dua periset beda partai itu sengaja berkolaborasi demi hasil survei yang lebih berimbang.
Dibanding tiga pendahulunya pada rentang waktu yang sama, performa Trump merupakan yang terburuk. Lembaga polling yang sama mencatat popularitas George W. Bush pada semester pertama kepresidenannya pada angka 88 persen. Sedangkan Barack Obama dan Bill Clinton masing-masing 51 persen dan 47 persen. (AP/Reuters/BBC/CNN/hep/c21/any)
Mereka yang Diperiksa Terkait Skandal Rusia
Reince Priebus: Mengetahui peretasan data milik Partai Demokrat oleh Rusia, tapi berusaha menutup-nutupi
Sean Spicer: Mengetahui persekongkolan Rusia dan Trump pada pilpres 2016, tapi diam saja
Paul Manafort: Ketua tim sukses Trump pada pilpres 2016 dan tahu banyak tentang persekongkolan Trump dan Rusia
Rick Gates: Rekan bisnis Trump yang punya banyak kolega di Rusia dan beberapa kali menjembatani pertemuan penting menjelang pilpres
Michael Flynn: Ikut menemui Dubes Rusia untuk AS Sergei Kislyak meski awalnya tidak mengakuinya
Roger Stone: Terlibat dalam pertemuan rahasia dengan para pejabat Rusia pada kampanye pilpres 2016 dan mengetahui peretasan e-mail John Podesta
Carter Page: Konsultan industri minyak di AS sekaligus penasihat Trump (urusan kebijakan luar negeri) pada kampanye pilpres 2016
Jared Kushner: Beberapa kali terlibat dalam pertemuan kubu Trump dan petinggi Rusia
Presiden Trump: Diduga melanggar kewenangannya sebagai presiden karena berusaha memengaruhi penyelidikan kasus AS-Rusia oleh FBI