Dengan menggunakan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Basri Masri tak lagi melakukan demonstrasi dan melempar batu ke arah tentara Israel. Dia mengubah perjuangannya dengan melakukan perencanaan pembangunan wilayah Palestina.
"Pada tahap itu, saya tidak akan keluar dalam demonstrasi. Saya lebih di sisi perencanaan," ungkapnya.
Bashar Masri pernah ditangkap dan dipenjara oleh tentara Israel. Perlawanannya terhadap tentara Israel diawali saat ia masih berusia 14 tahun. Pada tahun 1961, Masri bersama teman-teman sekolahnya aktif melakukan demonstrasi di wilayah Tepi Barat (west Bank) yang menentang pendudukan Israel.
Tahun 1967, Israel berhasil merebut wilayah Tepi Barat dari kontrol Yordania. Masri muda yang lahir pada tahun 1975 di Nablus Palestina, menggalang demontrasi menolak pendudukan Israel.
"Sebagai anak muda, saya percaya pada kekerasan ketika itu," ujar Masri , September 2015.
Selain unjuk rasa, saat masih SMA Masri juga menyurati Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Kurt Waldheim untuk memprotes pendudukan Israel.
"Kami orang Palestina dan tidak ada yang lain kecuali orang-orang Palestina," kisahnya.
Di tahun 1970-an, Israel memang berlaku kejam. Tentara Israel bisa menambak siapa saja orang di wilayah Tepi Barat yang berdemonstrasi dan membawa bendera Palestina. Masri menjadi salah satu pemuda Palestina yang ditangkap dan dipenjara karena melemparkan batu ke arah tentara Israel. Ia terpaksa menjalani ujian dari balik jeruji.
Di usia 16 tahun, Masri dikirim sang ayah untuk menyelesaikan SMA di Kairo Mesir. Dari Kairo, ia menempuh kuliah di jurusan Teknik Kimia, Virginia Tech, Amerika, dan studi bidang manajemen di London, Inggris. Pada 1987 dia kembali ke Palestina ketika Intifada mulai pecah.
Masri pun bekerja di luar negeri karena ketika itu belum ada peluang kerja di Tepi Barat. Dia hanya kembali ke Palestina dalam waktu-waktu tertentu. Pada 1991 ketika dia baru saja mendarat di bandara Ben Gurion, Tel Aviv, Israel, Masri dideportasi. Dia dinilai menjadi ancaman bagi Israel.
Masri baru diizinkan kembali ke Israel pada 1994. Selama di luar negeri, Masri bekerja di sejumlah perusahaan real estate di Maroko, Libya, Yordania dan Mesir. Dia juga bekerja sebagai konsultan manajemen di London, Arab Saudi, dan Washington DC.
Ketika kembali ke Nablus, Masri bertemu dengan beberapa teman sekolahnya yang berprestasi namun tak memiliki pekerjaan tetap.
"Mereka dalam situasi menyedihkan," ungkap Masri.
Untungnya, dengan dorongan Kesepakatan Oslo, Norwegia, tahun 1994, Masri pun bertekad untuk membangun Rawabi yang akan menjadi identitas kebanggaan bangsa Palestina. Pembangunan Rawabi yang dekat dengan Ramallah akan menciptakan lapangan kerja bagi pemuda dan masyarakat Palestina.
Tahun 2008, Massar International, perusahaan yang didirikan Masri pada 1994 membentuk anak perusahaan bernama Bayti Real Estate Investment Company-Rawabi. Perusahaan inilah yang membangun dan mengembangkan Rawabi, kota metropolitan pertama di Palestina. Mega proyek ini berhasil mempekerjakan 10.000 orang lebih warga Palestina. Insinyur dan arsiteknya adalah warga Palestina. Serta sepertiga dari mereka adalah kaum wanita.
Melalui proyek Rawabi, Masri ingin menunjukkan pada dunia bahwa warga Palestina bisa membangun bangsanya sendiri.
"Ini membawa kebanggaan nasional. Ya kita bisa! Dan Rawabi juga mengirim pesan ke masyarakat internasional bahwa kami bukan apa yang selama ini mereka percaya sebagai segerombolan teroris. Kami siap membangun negara kita. Inilah buktinya (Rawabi)," papar Masri dengan tegas.