Mungkin beberapa dekade silam, kebanyakan orang menggunakan Diary sebagai media curhatannya. Kini, ketika teknologi digital melekat dalam keseharian masyarakat, bukan hanya ‘si Diary’ saja yang menjadi tong sampah buat segala unek-unek sebagian orang. Bukan pula cuma keluarga atau teman-teman dekat yang disasar untuk berkeluh kesah dan menumpahkan euforia. Kuping dan mata publik luas di dunia virtual, bahkan jika mungkin seantero negeri, menjadi target mereka ketika sedang bermonolog tentang petikan kisah hidupnya.
Ya, medsos. Menjadikan medsos sebagai wahana katarsis bisa menghadirkan reaksi yang tidak hanya berefek baik tapi lebih sering terdengar berefek buruk. Meski sifatnya berkebalikan dengan buku diary, media sosial malah kerap dipakai untuk menampung curhat.
Aksi-aksi meluapkan emosi di media sosial didorong oleh sejumlah alasan. Dilansir The Times of India, perasaan terluka atau kemarahan seseorang mendorong orang-orang untuk menuliskan cerita personal mereka di internet. Saat kesabaran orang tandas, platform-platform media sosial hadir sebagai medium yang melanggengkan emosi negatif.
Sebuah penelitian di Cina juga menyatakan, kemarahan lebih cepat disebarkan di dunia online dibanding emosi lain seperti kesedihan atau kegembiraan.
Karakteristik media baru yang memungkinkan cepatnya respons diterima juga memicu pemilihan media sosial sebagai tempat meluapkan emosi. Ketika orang menuliskan pengalamannya di media sosial, yang diharapkan adalah seluruh mata pengikut akunnya tertuju kepada dia.
Validasi eksternal berupa ungkapan simpati atau dukungan sampai popularitas adalah hal yang mungkin dikejar mereka yang gemar berkisah tentang hal privatnya di media sosial. Mereka ingin mengukuhkan kubu, lantas dengan ‘kekuatan’ yang ada, menyerang balik pihak yang dianggap merugikan. Bukan tidak mungkin pula aksi mempermalukan ‘si musuh’ dilakukan kemudian lantaran terciptanya solidaritas dari status atau caption yang diunggah.
Pemilihan media sosial sebagai diary masa kini juga disebabkan orang-orang bisa sepuasnya membeberkan hal-hal yang menyinggung mereka tanpa perlu menyebutkan pihak bersangkutan alih-alih mengonfrontasi langsung. Ada konsekuensi-konsekuensi tertentu yang harus dihadapi begitu meluapkan unek-unek di depan muka pihak bersangkutan, inilah yang ingin dihindari si penggemar curhat di media sosial.
Sama seperti diary zaman lawas, media sosial berperan sebagai wadah katarsis ketika orang sedang mengalami emosi-emosi tertentu. Menyalurkan isi kepala dan perasaan memang menjadi jalan yang positif bagi kesehatan jiwa. Akan tetapi, hal ini malah menjelma bumerang saat reaksi khalayak luas yang membaca status berisi unek-unek mereka tidak seperti yang diharapkan.
Saat yang menghampiri adalah hujatan atau kritikan, para pengunggah status curhatan akan menghadapi konflik internal yang semakin besar. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Masalah pribadi yang ada belum terselesaikan, mereka harus siap menghadapi masalah baru yaitu penghakiman para pengikutnya, atau bahkan publik luas.
Mengungkapkan kemarahan di media sosial sebenarnya juga tidak akan membuat orang merasa lebih baik pula. Dalam PBS, tercatat pendapat Ryan Martin, profesor psikologi di University of Wisconsin-Green Bay, yang mengamati efek pelepasan emosi di situs-situs yang diperuntukkan bagi pengguna internet yang ingin melontarkan unek-unek.
Ia menyatakan, pelepasan emosi di sana hanya berefek sementara. Alih-alih emosi mereda, orang yang membaca kembali ekspresi kemarahannya yang diunggah di internet cenderung makin marah.
Sementara menurut John Suler, pakar psikologi dari Rider University, keluhan-keluhan yang dilontarkan di dunia online bisa berujung pada emosi negatif lain di kemudian hari seperti rasa malu dan bersalah. “Mengapa saya dulu menulis status marah dan tidak terkendali seperti ini, ya?” adalah pikiran yang mungkin muncul beberapa waktu setelah konflik yang dihadapi mereda.
Tidak hanya perkara hubungan saja yang jamak dibahas saat seseorang mengeluhkan sesuatu di media sosial. Perkara pekerjaan juga disinggung oleh para penggemar curhat online ini. Akibat tindakan ini bisa sangat signifikan: teguran dari pihak kantor yang mengikuti akunnya atau citra buruk bagi kantor yang ada di benak para pengikut lain yang pada akhirnya dapat berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Saat rekam jejak pernah marah-marah atau mengeluhkan kehidupan kantor di media sosial menyebar, bukan mustahil pula pemberi kerja lain atau rekan-rekan seseorang mengecapnya dengan label buruk atau tidak profesional.
Seperti itulah kiranya efek samping mengunggah curhatan di media sosial. Jangan hanya berpikir jangka pendek saja, tapi berpikirlah jangka panjangnya mengenai dampak dari sesuatu yang akan kita post di beberapa akun medsos.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini
Dapatkan strategi SEO terbaik untuk meningkatkan trafik organik serta solusi periklanan yang tepat sasaran.