Bogor, 7 November 2025 — Penetapan Roy Suryo dan sejumlah aktivis sebagai tersangka dalam kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo dinilai sebagai langkah mundur bagi demokrasi Indonesia.
Hal itu disampaikan oleh Pakar Manajemen Publik sekaligus Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna, yang menilai bahwa langkah hukum tersebut tidak hanya menunjukkan gejala represif terhadap kritik publik, tetapi juga menambah beban politik bagi Presiden Prabowo Subianto.
“Kasus ini adalah kemenangan bagi kekuasaan lama, namun kekalahan bagi demokrasi. Presiden Prabowo kini memikul tanggung jawab moral dan politik untuk membuktikan bahwa pemerintahannya tidak mengulangi pola represif era sebelumnya,” ujar Nandang dalam keterangan tertulis di Bogor, Jumat (7/11).
Kritik Dikriminalisasi, Transparansi Hilang
Lebih lanjut, Nandang menyoroti bahwa hingga saat ini ijazah asli Joko Widodo belum pernah ditunjukkan secara terbuka kepada publik—baik saat menjabat sebagai presiden, dalam proses hukum, maupun dalam forum klarifikasi resmi.
Menurutnya, sikap tertutup tersebut bertentangan dengan semangat transparansi yang seharusnya menjadi teladan dari seorang mantan kepala negara.
“Alih-alih menjawab dengan bukti, justru mereka yang bertanya malah dikriminalisasi. Ini bukan perilaku seorang negarawan di era keterbukaan,” tegasnya.
Ia menilai, tindakan hukum terhadap Roy Suryo justru memperkuat persepsi bahwa negara lebih memilih represi ketimbang klarifikasi. Dalam tata kelola pemerintahan modern, ujar Nandang, keterbukaan informasi merupakan bagian penting dari prinsip good governance.
“Jika kritik dibungkam dan pertanyaan dibalas dengan penangkapan, maka kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan pemerintahan akan terus menurun,” tambahnya.
Bayang-Bayang Pengaruh Jokowi di Pemerintahan Baru
Meski Joko Widodo telah purna jabatan, Nandang menilai pengaruh politiknya masih terasa kuat, terutama dengan posisi Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Hal itu membuat batas antara pemerintahan lama dan yang baru menjadi kabur.
“Penetapan tersangka terhadap pengkritik Jokowi tidak bisa dilepaskan dari konteks kekuasaan yang masih berlapis. Kita melihat kesinambungan politik antara masa Jokowi dan era Prabowo-Gibran,” ujarnya.
Menurut Nandang, dinamika tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi Presiden Prabowo. Setiap tindakan hukum yang dianggap menekan kebebasan berpendapat berpotensi menurunkan legitimasi pemerintahan baru di mata publik.
“Semakin sering kritik terhadap figur lama dijawab dengan langkah hukum, semakin besar risiko citra pemerintahan Prabowo dianggap sebagai perpanjangan kekuasaan sebelumnya,” tambahnya.
Ujian Awal untuk Komitmen Demokrasi Prabowo
Nandang menilai kasus ini menjadi ujian awal bagi Presiden Prabowo Subianto dalam membuktikan komitmennya terhadap prinsip demokrasi dan supremasi hukum.
Menurutnya, Prabowo harus mampu memastikan bahwa hukum tidak lagi dijadikan alat kekuasaan, serta menjamin bahwa kebebasan berekspresi dilindungi secara nyata di bawah kepemimpinannya.
“Presiden Prabowo harus menunjukkan sikap berdaulat dan tegas. Jika kasus semacam ini dibiarkan, publik akan menilai bahwa perubahan yang dijanjikan hanya sebatas pergantian figur, bukan perubahan nilai dan prinsip,” jelasnya.
Nandang menegaskan, demokrasi sejati tidak tumbuh dari ketakutan, tetapi dari keterbukaan dan kejujuran pemerintah terhadap rakyatnya.
“Kebenaran tidak lahir dari penangkapan, tapi dari keberanian membuka bukti. Negara seharusnya menjawab dengan transparansi, bukan intimidasi,” pungkasnya.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini
Dapatkan strategi SEO terbaik untuk meningkatkan trafik organik serta solusi periklanan yang tepat sasaran.