Semenjak Donald Trump dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, beribu-ribu pertanyaan terlontarkan mengenai kondisi kejiwaannya.
Pertanyaan tersebut kembali muncul seiring diluncurkannya buku berjudul Fire and Fury: Inside the Trump White House karya jurnalis Michael Wolff.
Kabarnya, keakuratan buku tersebut masih disangsikan Gedung Putih dan dipertanyakan sejumlah pihak. Pasalnya isi buku tersebut menggambarkan Trump sebagai sosok tidak sabar, tidak bisa fokus, mengulang berbagai hal, dan mengoceh tanpa ujung pangkal.
Menanggapi hal tersebut, Trump mengecam penggambaran yang dibuat Wolff dalam bukunya. Lewat Twitter, dia mengklaim dirinya sebagai "genius yang sangat stabil" serta memiliki "dua aset terbesar, yakni mental yang stabil dan sangat pintar".
Namun, bantahan Trump dan gaya berbicaranya justru mendorong khalayak semakin menggunjingkan kondisi kejiwaannya. Ada yang menduga sang Presiden mengidap alzheimer hingga kepribadian narsistis.
Dikutip dari BBC, Senin (8/1/2018), beberapa psikolog sebelumnya telah berspekulasi mengenai gejala-gejala kelainan jiwa yang mereka klaim ada pada perilaku Trump.
Ada sejumlah buku yang membahas topik tersebut setelah Trump dilantik, seperti The Dangerous Case of Donald Trump karya Bandy X Lee, Twilight of American Sanity karya Allen Frances, dan Fantasyland karya Kurt Andersen.
Bandy X Lee, profesor bidang psikiatri dari Universitas Yale, mengatakan kepada sekelompok senator yang sebagian besar dari Partai Demokrat bahwa gangguan jiwa Trump "akan terungkap dan kita sedang melihat gejala-gejalanya". Meski demikian, perlu diingat bahwa para penulis buku ini, termasuk Lee, belum pernah menangani Trump dan tidak pernah memeriksa kejiwaan Trump secara pribadi.
Kalaupun ada yang menangani Trump secara langsung, sosok itu akan terikat dengan standar etika dan undang-undang federal untuk tidak membeberkan kondisi pasien.
Jika Trump diketahui terbukti mengalami gangguan jiwa, ia bisa dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden. Sebagaimana dikemukakan dalam amandemen ke-25 pada Konstitusi AS, jika presiden dinilai "tidak sanggup menjalankan tugas dan kewenangannya", wakil presiden akan mengambil alih. Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda proses itu hendak dijalankan.
Rupanya, beberapa presiden AS pernah mengalami gangguan jiwa, misalnya Abraham Lincoln yang mengidap depresi klinis. Kemudia Ronald Reagan yang menjabat presiden pada 1981 hingga 1989. Ia mengalami kebingungan sehingga terkadang tidak bisa menentukan secara pasti di mana ia berada. Lima tahun setelah pensiun, Reagan didiagnosis mengidap alzheimer. Kendati demikian, amandemen ke-25 pada Konstitusi AS tidak pernah diterapkan untuk melengserkan presiden.
Hingga saat ini, tidak ada bukti-bukti konkret bahwa Trump mengalami gangguan jiwa. Kalaupun ada, orang berwenang yang memeriksanya tidak bisa mengungkapkan hal itu ke publik karena terikat etika kedokteran dan aturan hukum. Namun, dari pengamatan berbagai pihak, Trump amat mungkin mengalami serangkaian gejala penyimpangan kepribadian narsistis (NPD).
Berdasarkan jurnal ilmiah Psychology Today, orang yang mengalami gangguan NPD menunjukkan tiga hal: bermegah diri, kurang bisa berempati kepada orang lain, dan merasa perlu dikagumi; merasa lebih superior atau berhak mendapat perlakuan istimewa; dan mencari perhatian secara berlebihan, susah dikritik, dan sulit mengakui kekalahan.
Allen Frances, pakar yang menyusun kriteria diagnosis NPD, mengaku tidak bisa serta-merta menilai Trump mengalami NPD karena tidak terlihat stress. Justru stress lah yang selalu menghampirinya, mungkin karena banyaknya urusan negara yang harus ia tangani. Trump bahkan sangat mendapat sanjungan, bukan hukuman, atas sikapnya yang bermegah diri dan kurang berempati.