Pendaftaran bakal calon anggota legislatif (bacaleg) telah dibuka sejak 4 Juli. Namun, hingga Sabtu (15/7/2018) tak satu pun partai mendaftarkan bacalegnya. Hal ini diduga karena belum terpenuhinya syarat 30 persen keterwakilan perempuan. Sebab, tiap partai mengalami kesulitan mencari bacaleg perempuan karena biaya politik yang harus dikeluarkan tak sedikit.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini berkomentar idem. Titi tak percaya jika parpol punya krisis perempuan. Sebab, parpol tidak kekurangan (perempuan), namun realitanya ada pandangan yang hadir di politik yang membutuhkan biaya besar. Pernyataan ini dilontarkannya dalam diskusi 'Gampang-gampang Susah Cari Caleg' di Gado-Gado Boplo, Jl Gereja Theresia, Jakarta Pusat, Sabtu (14/7/2018) kemarin.
Ditambah lagi, menurut Titi, perempuan seringkali tidak mendapatkan insentif pemilu dari parpol ketika maju sebagai caleg.
Terkait krisis pencalonan anggota legislatife perempuan, perwakilan DPP PPP, Lena Maryana Mukti menegaskan kesulitan dalam mencari bacaleg perempuan seharusnya tidak terjadi jika partai mengikuti peraturan yang tertera dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Bahkan, dalam UU tersebut partai politik disyaratkan menempatkan 30 persen perempuan di seluruh jenjang. Ia menggaris bawahi perkataannya, kalau dilakukan tentunya tidak akan mengalami kesulitan.
Lena malahan beranggapan bahwa di lingkungan internal perempuan belum banyak yang menyadari kehadiran perempuan di demokrasi. Sehingga bisa jadi suatu saat demokrasi akan mengalami defisit jika perempuan nihil alias tak ada.
Sependapat dengan Titi, Bendahara PAN, Chandra Tirta Wijaya mengatakan parpolnya tidak mengalami kesulitan dalam mencari bacaleg perempuan. Ia bersyukur kurangnya tingga 20 persen. Dengan begitu, menurutnya, PAN sudah menggenapi keterwakilan perempuan. Hanya saja, mereka masih kurang melengkapi administrasi.
Jadi, menurut Anda, seberapa penting kehadiran perempuan untuk masuk menjadi anggota legislatif dalam sistem pemerintahan di Indonesia?