Rohingnya Takut Pulang Jika Mereka Tidak Dijamin Aman

Rohingnya Takut Pulang Jika Mereka Tidak Dijamin Aman

Nur AK
16 Jan 2018
Dibaca : 935x
Kekerasan memuncak pada 2012 setelah insiden seorang perempuan Buddha diduga diperkosa oleh pria muslim.

Kepulangan etnis Rohingnya ke Myanmar ditakuti oleh salah satu etnis Rohingnya yakni Hamid Hussein (71), yang merupakan petani muslim Rohingya. Pada tahun 1992 ia mengungsi dari Myanmar ke Bangladesh. Setahun kemudian ia kembali ke rumahnya berkat perjanjian kesepakatan antara kedua negara. Namun, September lalu Hamid kembali mengungsi ke Bangladesh karena kekerasan di Negara Bagian Rakhine kembali memuncak.

Kini ia tinggal di kampung penampungan sementara di sebelah tenggara Bangladesh. Ia menuturkan, Pemerintah Bangladesh mengatakan Myanmar akan mengembalikan hak-hak etnis Rohingnya supaya bisa hidup damai. Kemudian, ia dan rekan-rekannya berharap jika kembali pulang maka hak-haknya harus dijamin selamanya.

Begitu pula yang diungkapkan Hafizulla, 37 tahun, warga Rohingya di pengungsian Bangladesh. Ia tidak mau kembali, tidak ada yang mau pulang. Mereka takut pulang tanpa bantuan PBB. Militer Myanmar akan menangkap mereka nanti, dan bisa menuduh mereka membantu militan.

Dilansir dari The Atlantic, perseteruan antara warga muslim berbahasa Bengali dengan penduduk Buddha di Negara Bagian Rakhine sudah sudah berlangsung selama puluhan tahun, sebagian bahkan mengatakan sudah ratusan tahun, tapi kekerasan paling menonjol terjadi pada 1982 ketika junta militer Birma mengesahkan undang-undang yang menyebut ada delapan etnis yang bisa mendapat status pengakuan sebagai warga negara. Di dalam UU tersebut, Rohingya tidak termasuk di antara etnis itu meski sejak Birma merdeka dari Inggris pada 1948, warga Rohingya mendapat hak setara.

Sejak saat itu Rohingya kerap mengalami persekusi dan kehilangan hak mereka. Lalu, kekerasan memuncak pada 2012 setelah insiden seorang perempuan Buddha diduga diperkosa oleh pria muslim. Akibat kejadian itu kekerasan bernuansa agama meledak, memaksa 140 ribu warga Rohingya mengungsi ke penampungan. Tekanan internasional tersebut, membuat pemerintahan militer Myanmar sepakat memberi warga rohingya status kewarganegaraan terbatas jika mereka mendaftarkan diri sebagai Bengali, bukan Rohingya.

Sejak akhir Agustus lalu sedikitnya 655 ribu warga Rohingya, sekitar 58 persennya anak-anak, mengungsi ke Bangladesh ketika kekerasan kembali terjadi.

Badan PBB yang mengurusi pengungsian, UNHCR mengatakan para pengungsi Rohingya mau kembali ke Myanmar asal keamanan mereka dijamin dan hak-hak mereka dipenuhi, termasuk status kewarganegaraan.

Namun hal itu harus bersyarat, Pemerintah Myanmar mengatakan para pengungsi bisa mengajukan permohonan kewarganegaraan jika mereka bisa membuktikan leluhur mereka pernah tinggal di Myanmar. Rupanya aturan itu seperti yang terjadi pada 1992 bahwa, tidak menjamin mereka mendapat status warga negara dan hingga kini belum jelas akan seperti apa nasib mereka jika kembali.

Bagi pemerintah Myanmar, kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Myanmar 2012-2016, Derek Mitchell, kata 'Rohingya' itu sensitif. Ini karena jika pemerintah mengakui warga muslim di Rakhine sebagai bagian dari etnis Rohingya, maka mereka akan dibolehkan punya wilayah otonomi di Myanmar. Sedangkan menurut undang-undang 1982, mereka tidak termasuk delapan etnis yang bisa mendapat status warga negara.

Pemerintah Myanmar khawatir jika Rohingya diberi wilayah otonomi di sepanjang perbatasan Bangladesh maka itu bisa memperluas wilayah Rakhine dan militer memandang kondisi ini bisa dimanfaatkan kelompok militan Rohingya, ARSA.

PBB menyebut tindakan militer Myanmar terhadap warga Rohingya adalah pembersihan etnis.Kepulangan etnis Rohingnya ke Myanmar ditakuti oleh salah satu etnis Rohingnya yakni Hamid Hussein (71), yang merupakan petani muslim Rohingya. Pada tahun 1992 ia mengungsi dari Myanmar ke Bangladesh. Setahun kemudian ia kembali ke rumahnya berkat perjanjian kesepakatan antara kedua negara. Namun, September lalu Hamid kembali mengungsi ke Bangladesh karena kekerasan di Negara Bagian Rakhine kembali memuncak.

Kini ia tinggal di kampung penampungan sementara di sebelah tenggara Bangladesh. Ia menuturkan, Pemerintah Bangladesh mengatakan Myanmar akan mengembalikan hak-hak etnis Rohingnya supaya bisa hidup damai. Kemudian, ia dan rekan-rekannya berharap jika kembali pulang maka hak-haknya harus dijamin selamanya.

Begitu pula yang diungkapkan Hafizulla, 37 tahun, warga Rohingya di pengungsian Bangladesh. Ia tidak mau kembali, tidak ada yang mau pulang. Mereka takut pulang tanpa bantuan PBB. Militer Myanmar akan menangkap mereka nanti, dan bisa menuduh mereka membantu militan.

Dilansir dari The Atlantic, perseteruan antara warga muslim berbahasa Bengali dengan penduduk Buddha di Negara Bagian Rakhine sudah sudah berlangsung selama puluhan tahun, sebagian bahkan mengatakan sudah ratusan tahun, tapi kekerasan paling menonjol terjadi pada 1982 ketika junta militer Birma mengesahkan undang-undang yang menyebut ada delapan etnis yang bisa mendapat status pengakuan sebagai warga negara. Di dalam UU tersebut, Rohingya tidak termasuk di antara etnis itu meski sejak Birma merdeka dari Inggris pada 1948, warga Rohingya mendapat hak setara.

Sejak saat itu Rohingya kerap mengalami persekusi dan kehilangan hak mereka. Lalu, kekerasan memuncak pada 2012 setelah insiden seorang perempuan Buddha diduga diperkosa oleh pria muslim. Akibat kejadian itu kekerasan bernuansa agama meledak, memaksa 140 ribu warga Rohingya mengungsi ke penampungan. Tekanan internasional tersebut, membuat pemerintahan militer Myanmar sepakat memberi warga rohingya status kewarganegaraan terbatas jika mereka mendaftarkan diri sebagai Bengali, bukan Rohingya.

Sejak akhir Agustus lalu sedikitnya 655 ribu warga Rohingya, sekitar 58 persennya anak-anak, mengungsi ke Bangladesh ketika kekerasan kembali terjadi.

Badan PBB yang mengurusi pengungsian, UNHCR mengatakan para pengungsi Rohingya mau kembali ke Myanmar asal keamanan mereka dijamin dan hak-hak mereka dipenuhi, termasuk status kewarganegaraan.

Namun hal itu harus bersyarat, Pemerintah Myanmar mengatakan para pengungsi bisa mengajukan permohonan kewarganegaraan jika mereka bisa membuktikan leluhur mereka pernah tinggal di Myanmar. Rupanya aturan itu seperti yang terjadi pada 1992 bahwa, tidak menjamin mereka mendapat status warga negara dan hingga kini belum jelas akan seperti apa nasib mereka jika kembali.

Bagi pemerintah Myanmar, Duta Besar Amerika Serikat untuk Myanmar 2012-2016, Derek Mitchell mengatakan, kata 'Rohingya' itu sensitif. Ini karena jika pemerintah mengakui warga muslim di Rakhine sebagai bagian dari etnis Rohingya, maka mereka akan dibolehkan punya wilayah otonomi di Myanmar. Sedangkan menurut undang-undang 1982, mereka tidak termasuk delapan etnis yang bisa mendapat status warga negara.

Pemerintah Myanmar khawatir jika Rohingya diberi wilayah otonomi di sepanjang perbatasan Bangladesh maka itu bisa memperluas wilayah Rakhine dan militer memandang kondisi ini bisa dimanfaatkan kelompok militan Rohingya, ARSA.

PBB menyebut tindakan militer Myanmar terhadap warga Rohingya adalah pembersihan etnis.

Artikel Terkait

Artikel Lainnya

Copyright © 2024 LampuHijau.com - All rights reserved
Copyright © 2024 LampuHijau.com
All rights reserved