Secara geografis, wilayah Indonesia rawan bencana alam, salah satunya mengenai gempa dan tsunami. Kondisi ini menjadi perhatian penting bagi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Mereka melihat bahwa gempa bumi dan tsunami sejatinya telah terjadi sejak awal terbentuknya Bumi ini. Siklus ini pun akan terus berulang (recurrent period) hingga waktu tak dapat ditentukan.
Adanya rentetan peristiwa gempa besar di sepanjang jalur gempa Sumatra hingga Jawa belum tentu saling berkaitan secara langsung. Peristiwa gempa kuat tersebut terjadi disebabkan karena zona itu memang merupakan jalur gempa kuat yang dapat terjadi kapan saja. BMKG masih sulit menjelaskan keterkaitan antar kejadian gempa besar, yang baru bisa adalah mengkaji peristiwa gempa secara spasial dan temporal.
Mengkaji perpindahan tegangan atau stress batuan masih sulit untuk dilakukan guna menjawab peristiwa migrasi gempa. Tetapi dalam konteks hubungan antara gempa utama (mainshock) dan gempa susulan (aftershocks) kita sudah dapat menjelaskan.
Jika kerak Bumi mengalami patahan dan terjadi gempa maka batuan akan terdeformasi, sehingga untuk mengembalikan ke kondisi stabil butuh gaya lagi untuk menata batuan kembali yang telah terdeformasi. Maka gempa-gempa susulan merupakan proses batuan dalam rangka mencari stabilitas tektonik. Saat terjadi gempa besar, maka gempa susulan lazimnya akan terjadi tetapi kekuatannya umumnya cenderung akan semakin kecil.
Sebetulnya sejak dahulu wilayah Indonesia sudah sering kali terjadi gempa kuat yang merusak dan memicu tsunami. Data katalog tsunami BMKG sudah mencatat bahwa kejadian tsunami di Indonesia sudah mencapai lebih dari 200 kejadian, tetapi mengapa istilah tsunami baru dikenal luas oleh masyarakat kita setelah terjadi megatsunami Aceh. Ada kecenderungan masyarakat kita memang mudah lupa dengan peristiwa gempa besar dan tsunami yang terjadi pada masa lalu.
Teknologi informasi yang belum berkembang pada masa lalu juga menjadi andil mengapa masyarakat kita masih asing dengan peristiwa tsunami yang terjadi. Sehingga jika ada berita tsunami tidak langsung tersebar dengan massif kemudian lupa.
Sebelum bencana Tsunami Aceh, kejadian tsunami sudah banyak terjadi, seperti Tsunami Flores 1992 yang menelan korban lebih dari 2.000 orang. Tsunami Banyuwangi 1994 juga menelan korban 215 orang, sementara tsunami Pangandaran 2006 menelan korban sebanyak 659 orang. Tampaknya kejadian itu pun belum cukup menjadikan warga kita membekas dan menjadi sebuah peringatan meski korban yang jatuh sudah cukup banyak.
Zona sumber gempa yang dapat memicu terjadinya tsunami di wilayah Indonesia mencakup semua wilayah sebelah barat Sumatera dari Aceh, Padang, Bengkulu, hingga Selat Sunda. Selanjutnya wilayah selatan Jawa, Bali, NTB hingga NTT. Wilayah ini berdekatan dengan zona subduksi yang merupakan sarang gempa besar pemicu tsunami. Selain itu, zona gempa yang rawan tsunami juga terdapat di Laut Banda, Maluku Utara, sulawesi utara dan wilayah utara Papua.
Wilayah Indonesia rawan gempa dan tsunami karena merupakan kawasan pertemuan tiga lempeng utama dunia, yaitu Lempeng Indo-Australia, Pasifik, dan Eurasia. Konsekuensinya, wilayah Indonesia akan menjadi kawasan seismik aktif dan kompleks. Di wilayah ini mudah terbangun akumulasi medan tegangan atau stress kulit bumi yang suatu saat akan rilis energi yang dimanifestasikan sebagai peristiwa gempa besar.
Di samping zona sumber gempa subduksi lempeng di laut, di wilayah Indonesia juga banyak terdapat sumber gempa dari patahan-patahan aktif di daratan. Karena di samping lempeng tektonik itu menyusup, juga ada gaya mendorong, sehingga pada bagian-bagian bagian lemah di kerak benua akan terbentuk patahan.
Jadi sumber gempa itu ada 2, yaitu zona subduksi atau penyusupan lempeng dan aktivitas patahan atau sesar aktif. Sesar aktif ini juga dapat menghasilkan tsunami, seperti Sesar Naik Flores yang terdapat di utara Bali hingga Flores. Sesar aktif ini pernah memicu Gempa Flores pada 12 Desember 1992 yang memicu tsunami dahsyat.
Kalau di wilayah Jakarta hingga saat ini memang belum ditemukan adanya patahan/sesar aktif. Tetapi di sekitarnya Jakarta ada,seperti Sesar Baribis, Sesar Lembang, Sesar Cimandiri dan beberapa sesar aktif di wilayah Banten. Wilayah Jakarta juga relatif dekat dengan sumber gempa subduksi di selatan Jawa Barat dan Selat Sunda. Kalaupun terjadi guncangan gempa di Jakarta, itu efek dari gempa yang berpusat di luar Jakarta.
Dalam ilmu kegempaan atau seismologi, kita mengenal adanya teori recurrent periode atau periode pengulangan, bahwa tempat yang pernah terjadi gempa besar suatu saat itu akan terjadi lagi gempa kuat. Jadi peristiwa gempa kuat itu membentuk siklus, hanya periodisitasnya berbeda-beda antar wilayah. Jadi peristiwa gempa akan terus terjadi dan tidak akan berhenti sampai akhir dunia ini.
Peneliti dan pakar geologi asal Brigham Young University, Amerika Serikat, Profesor Ron Harris mengungkapkan Indonesia memiliki siklus gempa setiap 20 tahun sekali. Harris menyebut fase itu terbangun dari tidur. Banyaknya gempa sejak tahun 2004 di Aceh menunjukkan Indonesia tengah berada di fase bangun.
Harus dipahami oleh masyarakat kita bahwa jika ada informasi tentang prediksi gempa bumi yang disertai dengan waktu kejadian, lokasinya hingga kekuatan gempanya, maka itu adalah hoax alias berita bohong. BMKG sendiri tidak pernah mengeluarkan informasi prediksi gempabumi semacam itu.
Tetapi BMKG akan terus memantau, mengolah, menganalisa, dan menyebarkan informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Informasi gempa yang kita diseminasikan berupa parameter gempa yang mencakup: waktu gempa, kekuatan, lokasi pusat gempa (episenter) dan ke dalamannya.
Sebenarnya semua pihak (termasuk BMKG) sudah sering melakukan sosialisasi dan edukasi itu. Idealnya edukasi dilakukan secara berkelanjutan. Namun karena keterbatasan dana, pada akhirnya dilakukan menyesuaikan dengan dana yang ada.
Belum ada komentar, jadilah yang pertama mengomentari artikel ini
Dapatkan strategi SEO terbaik untuk meningkatkan trafik organik serta solusi periklanan yang tepat sasaran.