Maskapai penerbangan Garuda Indonesia yang menjadi andalan nomor 1 transportasi udara di Indonesia, diperkirakan mengalami kerugian di sepanjang tahun 2017 lalu. Hingga kuartal III-2017, total pendapatan perusahaan tercatat hanya USD 3,2 juta. Jumlah total pendapatan ini belum memasukkan pendapatan kuartal IV-2017, yang belum selesai diaudit.
Hingga kuartal III-2017, Garuda Indonesia mencatatkan rugi USD 221,9 juta atau sekitar Rp 3 triliun. Angka kerugian tersebut naik bila dibandingkan kerugian pada periode yang sama tahun 2016 sebesar USD 43,6 juta. Namun, kerugian terus membengkak di kuartal II tahun 2017 yaitu USD 184,7 juta.
Selain itu, perseroan juga harus membayar denda atas kasus persaingan bisnis kargo dengan Australia sebesar USD 8 juta.
Dari kerugian yang diderita tersebut, kondisi Garuda Indonesia saat ini cukup memprihatinkan. Berikut uraian kondisi Garuda Indonesia terbaru dilansir dari merdeka.com, antara lain:
1. Kekurangan jumlah pilot
Direktur Operasional Garuda Indonesia, Triyanto, mengakui bahwa minimnya jam istirahat masih menjadi kendala yang kerap didiskusikan di internal maskapai penerbangan pelat merah tersebut. Penyebabnya, perseroan kekurangan tenaga penerbang (pilot). Meskipun demikian, penambahan jam kerja tersebut, akan dilakukan jika pilot yang bersangkutan bersedia untuk ditambah jam terbangnya. Selain itu, penambahan jam kerja juga diikuti kompensasi, baik itu berupa waktu istirahat maupun berupa financial.
Ia menjelaskan, saat ini, Garuda Indonesia memiliki 1.327 pilot baik itu kapten maupun co-pilot dengan jumlah penerbangan sehari berkisar antara 630 hingga 640 penerbangan. Untuk mengatasi masalah terkait jam istirahat ini, Triyanto mengatakan sudah mengajukan permohonan tambahan pilot baru sebanyak 122 orang.
2. Sembilan direksi yang dinilai suatu pemborosan
Serikat Pekerja Garuda Indonesia (Sekarga) dan Asosiasi Pilot Garuda (APG) meminta Menteri BUMN Rini Soemarno merestrukturisasi jumlah direksi Garuda Indonesia menjadi 6 orang. Saat ini, maskapai penerbangan tersebut mempunyai 9 direksi yang terdiri direktur utama, direktur keuangan, direktur operasi, direktur tekhnik, direktur marketing, direktur personalia, direktur produksi, direktur kargo dan direktur service.
Ketua Umum Sekarga, Ahmad Irfan menilai keberadaan sembilan direksi ini suatu pemborosan bagi Garuda Indonesia. Di mana ada posisi yang sebenarnya tidak perlu untuk diisi. Untuk efisiensi perusahaan, kata dia, ada tiga direksi yang perlu dipangkas yaitu direktur produksi, direktur kargo dan direktur service.
3. Pelayanan dikurangi
Presiden Asosiasi Pilot Garuda Indonesia (APG), Bintang Hardiono, menilai pengurangan biaya atau cutting cost yang dilakukan manajemen Garuda Indonesia terlalu membabi buta. Hal ini membuat seluruh penerbang merasa resah.
Ketua Umum Serikat pekerja PT Garuda Indonesia (Sekarga) Bersatu, Ahmad Irfan, mengaku ada beberapa layanan yang dikurangi dari pengetatan biaya tersebut. Misalnya, pada penerbangan pendek atau jarak dekat penumpang tidak lagi mendapat permen dan roti di dalam pesawat.
Selain itu, Garuda Indonesia juga mengurangi tempat pengambilan bagasi di bandara. Di mana, awalnya seluruh bandara mempunyai lot pengambilan bagasi namun saat ini hanya terdapat di Jakarta dan Denpasar.
4. Garuda dikelola orang tidak professional
Presiden Asosiasi Pilot Garuda (APG) Bintang Hardiono menyampaikan keprihatinannya ketika maskapai penerbangan milik nasional tersebut mengalami penundaan atau delay berkali-kali, terutama saat puncak liburan (peak season). Penundaan tersebut karena adanya perubahan sistem pengelolaan sumber daya manusia sehingga mengakibatkan kacaunya jadwal terbang kru penerbang. Menurut dia, pengelolaan sdm akan lebih baik jika dilakukan oleh manajemen yang mengetahui bisnis penerbangan.
5. Hubungan industrial tidak harmonis
Ketua Umum Serikat pekerja PT Garuda Indonesia (Sekarga), Ahmad Irfan menyebut bahwa kondisi hubungan industrial perusahaan saat ini tidak harmonis. Sebab, perusahaan banyak melakukan pelanggaran terhadap Perjanjian Kerja Bersama/Perjanjian Kerja Profesi yang sudah disepakati sehingga banyak menimbulkan perselisihan.
Selain itu, penambahan armada juga tidak diikuti dengan kemampuan manajemen untuk membuat strategi penjualan produk penumpang dan kargo. Dengan peningkatan pendapatan hanya sebesar 8,6 persen, peningkatan biaya malahan sebesar 12,6 persen (Data Analyst Meeting Q3 2017).