Mahfud MD Analisis Penyebab Kekacauan Hukum di Indonesia yang Berujung pada Gugatan Hukum di MK

Mahfud MD Analisis Penyebab Kekacauan Hukum di Indonesia yang Berujung pada Gugatan Hukum di MK

Nur AK
11 Nov 2017
Dibaca : 1386x
Indonesia dinilai obesitas regulasi?

Hukum harus ditangani dengan tegas tanpa pandang bulu. Pernyataan itulah yang sering menjadi harapan bangsa Indonesia mengenai hukum di negaranya. Saat ini, beberapa kasus hukum di Indonesia menjadi sorotan publik terlebih munculnya kekacauan hukum.

Lantas apa yang menjadi penyebab kekacauan hukum di Indonesia?

Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara Mahfud MD, dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Keempat di Jember, hari ini, mengungkapkan tiga hal yang menjadi penyebab kekacauan hukum di Indonesia sehingga sering muncul gugatan hukum di Mahkamah Konstitusi.

Alasan yang pertama adalah karena pelaku pembuat undang-undang minim pengalaman dan kurang atau bahkan tidak profesional.

"Banyak undang-undang yang kemudian diatur lebih lanjut dengan peraturan-peraturan di bawahnya dan mengacu pada pasal-pasal selanjutnya," ujar Mahfud.

Hal itu dinilai kurang efisien dalam menyajikan undang-undang, karena dinilai kurang tegas dan kurang mengacu pada pokok aturan.

Kedua, karena ada permainan politik seperti tukar menukar materi dalam pembuatan regulasi. Mahfud mengatakan ketika pembuat regulasi hendak membuat undang-undang muncul pihak terkait yang setuju dengan persyaratan tertentu sehingga terjadi tukar menukar materi.

"Pernah ada persoalan seperti ini tentang kesepakatan undang-undang yang kemudian kami batalkan di Mahkamah Konstitusi," ujar Mahfud.

Ketiga, ada suap dalam pembuatan undang-undang. "Ini soal jual beli pasal dalam proses pembentukan undang-undang," kata Mahud.

Sungguh mengherankan, sudah menjadi kewajiban bagi pelaku pembuat undang-undang untuk menyusul aturan-aturannya. Kenapa masih ada suap saja? Apakah gaji mereka tidak cukup untuk menunjang hidup mereka? Bagaimana dengan rakyat jelata, yang hanya ingin diadili oleh hukum negara agar hidup sejahtera?

Adanya ungkapan Mahfud mengenai tiga alasan tersebut, membuat warga negara Indonesia semakin peduli akan hukum, dan menuntut keadilan.

Menurutnya, banyak isi undang-undang yang dibatalkan MK gara-gara suap.

"Ada delapan orang narapidana yang terbukti melakukan jual beli pasal, dan mereka tertangkap lalu dipenjara," jelas Mahfud.

Mahfud menyebut tiga hal ini bukan hanya urusan Kementerian Hukum dan HAM, namun juga banyak pihak lainnya yang harus ikut turun tangan dalam menyelesaikan persoalan hukum ini.

"Regulasi di Indonesia terlalu gemuk sehingga tumpang tindih dan menimbulkan benturan, ini jadi mempersulit upaya percepatan pembangunan dan ekonomi," ujar Mahfud.

Mahfud mengatakan satu kementerian atau lembaga kadang saling melempar tanggung jawab atau bahkan berebut tanggung jawab, akibat regulasi yang tumpang tindih ini yang akibatnya menyulitkan pemerintah dan masyarakat.

Contohnya adalah masalah dwelling time di Pelabuhan Tanjung Priok yang kadang melampaui tujuh hari.

"Presiden Joko Widodo meminta dwelling time paling lama empat hari, tapi sampai sekarang belum bisa dilaksanakan karena tiap departemen punya kebijakan masing-masing," tegas Mahfud.

Para pakar hukum tata negara dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara mencatat setidaknya ada 62.000 regulasi di Indonesia, sehingga Indonesia tergolong sebagai negara dengan obesitas regulasi. Regulasi yang berbelit-belit terasa percuma apabila komponen penegak hukum tidak menjalankan tugasnya dengan baik dan benar.

Artikel Terkait

Artikel Lainnya

Copyright © 2025 LampuHijau.com - All rights reserved
Copyright © 2025 LampuHijau.com
All rights reserved